Iklan

Thursday, October 3, 2019

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM DARI PEMBALAKAN LIAR DAN EKSPLOITASI | HUKUM LINGKUNGAN | Blog GambarDua

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM DARI PEMBALAKAN LIAR DAN EKSPLOITASI | HUKUM LINGKUNGAN | Blog GambarDua 

Hasil gambar untuk Hukum Lingkungan
Assalammu'alaikum wr.rb Kali ini Saya akan Membagikan Tugas Analisis Kebijakan Hukum Mata Kuliah Hukum Lingkungan dan Kehutanan

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM DARI PEMBALAKAN LIAR DAN EKSPLOITASI
           Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan pemberantasan pembalakan liar dan eksploitasi di Indonesia. Kewenangan yang dimiliki pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan,Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan Indonesia yang menggunakan sistem desentralisasi dengan konsep Negara Kesatuan membuat Pemerintah dalam hal penyerahan kewenangan yang dimiliki tidak melaksanakan prinsip desentralisasi murni, melainkan masih memberi pembatasan terhadap kewenangan yang dimiliki, namun demikian undang-undang yang ada di Indonesia memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan pemberantasan pembalakan liar (illegal logging).
           Pembalakan liar, merupakan permasalahan yang terjadi pada bangsa Indonesia, yang bukan hanya merugikan negara dalam hal rusaknya tatanan hutan, melainkan merugikan negara dalam hal pemasukan pendapatan negara, yakni dalam hal Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dampak dari kerusakan hutan dapat membuat lingkungan sekitar terkena banjir akibat gundulnya hutan, ataupun berkurangnya produksi oksigen dan makin bertambahnya karbondioksida yang justru akan sangat berdampak terhadap pernapasan manusia.
           Faktor pernyebab terjadinya pembalakan liar di Indonesia dapat dibagi dalam dua faktor yang menentukan yakni faktor hukum dan faktor non hukum. Payung hukum yang mengatur tentang masalah pembalakan liar di Indonesia sebenarnya sudah memadai. Pemberian sanksi ataupun pidana penjara terhadap kegiatan pembalakan liar diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , hanya saja untuk pemberian sanksi terhadap pelaku pembalakan masih terbilang tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
           Hutan sangat bermanfaat bagi manusia dan mahluk hidup lainnya, namun sangat disayangkan keberadaan hutan dan fungsinya sering dieksploitasi oleh manusia. Manusia mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, walaupun salah satu fungsi hutan adalah untuk produksi kayu yakni hutan dapat dikelola untuk kepentingan produksi.
           Perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di kawasan hutan cagar alam, tetapi juga telah merambah ke kawasan hutan lindung ataupun kawasan hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkahwatirkn bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.
           Dalam UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan ( UU P3H) ini setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin atau bahkan tidak memiliki izin pemanfaatan hutan dari pejabat yang berwenang, memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar.
Meski niat menjerat pelaku perusakan hutan yang massif, ternyata pemberlakuan sanksi pidana tetap diarahkan pada petani, masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur pasal 82, pasal 83, pasal 84 dst dari UU P3H. Hal ini mencederai hak konstitusional warga negara. Bahkan pasal 11 ayat (4) UU P3H mewajibkan Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu jika ingin menebang kayu, meski untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

           Sampai Agustus tahun 2014 Pemerintah baru selesai melakukan penetapan kawasan hutan seluas 69.758.922,38 ha atau setara dengan 56,9% dari luas kawasan hutan yang telah ditunjuk yang seluas 122.404.872,67  ha. Jumlah yang rendah itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status penguasaan dan pemilikan tanah-tanah yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai kawasan hutan. Sehingga dengan ketidakpastian soal status, akan berimbas pada rentannya UU P3H disalahgunakan aparat penegak hukum, karena pasal-pasal yang ditujukan terhadap tindak pidana yang dilakukan individu dalam UU P3H sarat akan ketidakpastian hukum.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Blog GambarDua | Powered by Blogger Design by ronangelo