ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM DARI PEMBALAKAN LIAR DAN EKSPLOITASI | HUKUM LINGKUNGAN | Blog GambarDua
Assalammu'alaikum
wr.rb Kali ini Saya akan Membagikan Tugas Analisis Kebijakan Hukum Mata Kuliah
Hukum Lingkungan dan Kehutanan
ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM
TERHADAP KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM DARI PEMBALAKAN LIAR DAN EKSPLOITASI
Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan
pemberantasan pembalakan liar dan eksploitasi di Indonesia. Kewenangan yang
dimiliki pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 66 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan,Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diatur secara spesifik dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah
Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Keberadaan Indonesia yang menggunakan sistem desentralisasi dengan konsep
Negara Kesatuan membuat Pemerintah dalam hal penyerahan kewenangan yang
dimiliki tidak melaksanakan prinsip desentralisasi murni, melainkan masih
memberi pembatasan terhadap kewenangan yang dimiliki, namun demikian
undang-undang yang ada di Indonesia memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk melakukan kegiatan pemberantasan pembalakan liar (illegal logging).
Pembalakan
liar, merupakan permasalahan yang terjadi pada bangsa Indonesia, yang bukan
hanya merugikan negara dalam hal rusaknya tatanan hutan, melainkan merugikan
negara dalam hal pemasukan pendapatan negara, yakni dalam hal Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Dampak dari kerusakan hutan dapat membuat lingkungan
sekitar terkena banjir akibat gundulnya hutan, ataupun berkurangnya produksi
oksigen dan makin bertambahnya karbondioksida yang justru akan sangat berdampak
terhadap pernapasan manusia.
Faktor
pernyebab terjadinya pembalakan liar di Indonesia dapat dibagi dalam dua faktor
yang menentukan yakni faktor hukum dan faktor non hukum. Payung hukum yang
mengatur tentang masalah pembalakan liar di Indonesia sebenarnya sudah memadai.
Pemberian sanksi ataupun pidana penjara terhadap kegiatan pembalakan liar
diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ,
hanya saja untuk pemberian sanksi terhadap pelaku pembalakan masih terbilang
tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Hutan
sangat bermanfaat bagi manusia dan mahluk hidup lainnya, namun sangat
disayangkan keberadaan hutan dan fungsinya sering dieksploitasi oleh manusia.
Manusia mengeksploitasi hutan secara besar-besaran, walaupun salah satu fungsi
hutan adalah untuk produksi kayu yakni hutan dapat dikelola untuk kepentingan
produksi.
Perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan
itu terjadi tidak hanya di kawasan hutan cagar alam, tetapi juga telah merambah
ke kawasan hutan lindung ataupun kawasan hutan konservasi. Perusakan hutan
telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar
biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun
internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat
mengkahwatirkn bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu,
penanganan perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.
Dalam UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Perusakan
Hutan ( UU P3H) ini setiap orang dilarang
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
atau bahkan tidak memiliki izin pemanfaatan hutan dari pejabat yang berwenang,
memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin, mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya
hasil hutan, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, membawa
alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang, memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari
hasil pembalakan liar.
Meski niat
menjerat pelaku perusakan hutan yang massif, ternyata pemberlakuan sanksi
pidana tetap diarahkan pada petani, masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat,
sebagaimana diatur pasal 82, pasal 83, pasal 84 dst dari UU P3H. Hal ini
mencederai hak konstitusional warga negara. Bahkan pasal 11 ayat (4) UU P3H
mewajibkan Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu jika ingin menebang kayu,
meski untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Sampai
Agustus tahun 2014 Pemerintah baru selesai melakukan penetapan kawasan hutan
seluas 69.758.922,38 ha atau setara dengan 56,9% dari luas kawasan hutan yang
telah ditunjuk yang seluas 122.404.872,67 ha. Jumlah yang rendah itu
telah menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status penguasaan dan pemilikan
tanah-tanah yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai kawasan
hutan. Sehingga dengan ketidakpastian soal status, akan berimbas pada rentannya
UU P3H disalahgunakan aparat penegak hukum, karena pasal-pasal yang ditujukan
terhadap tindak pidana yang dilakukan individu dalam UU P3H sarat akan
ketidakpastian hukum.
0 komentar:
Post a Comment