Iklan

Thursday, October 3, 2019

Aliran Critical Legal Studie & Aliran Sosiological Jurisprudens | Antropologi Hukum | Blog GambarDua

Aliran Critical Legal Studie & Aliran Sosiological Jurisprudens | Antropologi Hukum | Blog GambarDua 


Assalammu'alaikum wr.rb Kali ini Saya Akan Berbagi Untuk Bahan Makalah Untuk Mata Kuliah  Antropologi Hukum Langsung di Baca Gays

1.      Aliran Critical Legal Studi
            Aliran teori hukum kritis lahir  sebagai rasa ketidakpuasan terhadap teori-teori hukum yang memiliki landasan bahwa teori hukum dan ilmu hukum memiliki sistem. Menurut aliran teori hukum kritis,  hukum  tidak  tersistem atau nonsistemik,  sehingga hukum tidak netral. Selain itu, ajaran hukum kritis juga   kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar  objektif, oleh karena itu ajaran hukum kritis menolak ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
            Dengan kata lain, dalam pengkajian hukum, teori hukum kritis menekankan perlunya kajian hukum yang tidak terbatas pada  penelaahan materi  dari suatu aturan hukum atau undang-undang,  akan tetapi juga harus mempertimbangkan seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat dan hukum. Salah satu pendekatan  yang masuk dalam aliran hukum kritis adalah pendekatan  Teori Ekonomi tentang Hukum (The Economic Analysis of Law).
            Pendekatan teori ekonomi terhadap  hukum,  sebagaimana yang terdapat dalam Jurisprudence: Hilaire McCoubrey and Nigel D White meliputi: 1.The Antecedents of The Economic Approach (Peristiwa-peristiwa Terdahulu dari Pendekatan Ekonomi)  terdiri dari Realism Critical Legal Studies dan Utilitarianism, 2. Different Conceptions Within The School (Perbedaan Konsep dalam Sekolah)  terdiri dari  The Coase Theorrem (Teori Coase), Efficiency and Equity (Teori Efisiensi dan Keadilan), 3. Posner’s Economic Analysis  (Analisis Ekonomi Posners) terdiri dari The Economic Approach and and Legislation (The Pendekatan Ekonomi dan Pembuatan Undang-Undang), The Economic Approach and and Legislation (Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Adat), Contract Law (Hukum Kontrak), dan Criminal Law (Hukum Pidana), 4. Wealth As A Value (Kekayaan sebagai sebuah Nilai) dan 5. An Assessment of The Chicago School (Penilaian mengenai Aliran Pemikiran Chicago).
            Aliran  hukum kritis ini mencoba mengemas sebuah teori  yang bertujuan melawan pemikiran yang sudah mapan khususnya mengenai norma-norma  dan standar hukum  yang sudah built-in dalam teori dan praktek hukum yang selama ini ada, yang cenderung untuk diterima apa adanya (taken for granted), yaitu  norma-norma dan standar hukum yang didasarkan pada premis ajaran  liberal legal justice. Penganut aliran ini percaya bahwa bahwa logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah untuk mendukung (support) kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran  ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekakanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. Oleh karena  itu hukum hanya diperlakukan sebagai ‘a collection of beliefs’.
            Pada dasarnya aliran teori hukum kritis menitikberatkan   pada pemikiran, bahwa terbentuknya suatu hukum merupakan proses interaksi dan negosiasi antar berbagai kepentingan  dalam masyarakat dan negara. Oleh karena itu,     hukum dinyatakan tidak netral dan tidak  objektif, tapi sebaliknya dikatakan subyektif dan sarat dengan pertimbangan politik. Dengan demikian aliran teori hukum kritis,  menggunakan berbagai pendekatan  dalam memahami hukum. Beberapa pendekatan yang masuk dalam kelompok   aliran teori hukum kritis antara lain adalah  Realisme Hukum, aliran atau gerakan Studi Hukum Kritis (CLS), Teori Feminisme tentang Hukum, dan  Teori Ekonomi tentang Hukum.
2.      Aliran Sosiological Jurisprudens
            Aliran Sociological Jurisprudence  bahwa titik pusat dari perkembangan hukum itu tidak terletak pada pembuat undang-undang atau ilmu hukum, tidak pula berpangkal dari putusan hakim, tetapi berpangkal dari masyarakat itu sendiri. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kata sesuai berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai atau norma-norma yang hidup di dalam masyarakat.
            Sociological jurisprudence menekankan perhatiannya pada kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books tetapi sesuai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Peran strategis hakim dalam perspektif sociological jurisprudence adalah menerapkan hukum tidak hanya dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendesain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering.
            Aliran hukum ini menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat. Aliran ini berbeda dari sosiologi hukum yang merupakan cabang sosiologi yang melakukan pendekatan masyarakat ke hukum. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi ada dua hukum yaitu hukum positif yang kemudian menjadi hukum yang baik atau tidak baik dan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law/Das lebendiges Recht) yang bukan merupakan hukum positif. Ada perbedaan antara hukum positif dan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat itu. Hukum positif adalah peraturan perundang-undangan sebagaientsheidungsnormen atau norma-norma keputusan, sementara itu, hukum yang hidup adalah kenyataan sosial sebagai Rechtsnormen (norma hukum).
Mengapa sociological jurisprudenc epenting untuk dikembangkan di Indonesia yang menganut positivisme hukum? Filosofisociological jurisprudence adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia ada tiga hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum warisan Belanda, hukum adat dan hukum islam. Dengan adanya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi artinya pembentukan hukum ini tidak sesuai dengan hukum adat (adat istiadat) masyarakat Indonesia mengingat bangsa Indonesia adalah multicultural tetapi dibentuk berdasarkan kepentingan politik dan kelompok-kelompok tertentu saja.
Merupakan hal yang wajar jika banyak pihak yang kontra terhadap pembentukan undang-undang ini misalnya masyarakat Bali, Papua, Maluku dan NTT. Hal ini dikarenakan pemerintah dalam membuat undang-undang ini hanya memperhatikan unsure normatifnya saja (ratio) tetapi tidak memperhatikan unsure empirisnya (pengalaman) sehingga secara hukum (positivisme hukum), adat istiadat mereka dapat dipidana karena bertentangan dengan UU pornografi ini.
Sekalipun aliran hukum sociological jurisprudence kelihatan sangat ideal, dengan cita hukum masyarakat yang terus menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi aliran ini bukanlah tanpa kritik.  Ada 3 kelemahan dari aliran hukum ini yaitu[9]:
1.      Aliran hukum ini tidak dapat memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain.
2.      Ehrlic meragukan posisi adat kebiasaan sebagai “sumber” hukum dan adat kebiasaan sebagai suatu “bentuk” hukum.
3.      Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan antara norma-norma hukum Negara yang khas dan norma-norma hukum dimana Negara hanya member sanksi pada fakta sosial.   
Aliran positivisme yang sedang berkembang di Indonesia saat ini tidak harus dihilangkan atau kemudian diganti dengan aliran hukum lain. Tetapi dalam merumuskan suatu aturan tertulis unsur normatif (ratio) dan empiric (pengalaman) harus ada. Kedua-duanya sama perlunya. Artinya hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkritisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan ahli hukum sebagai hasil kerja ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara. Yang menjadi penting adalah bahwa cita-cita keadilan masyarakat dengan cita-cita keadilan yang dituju oleh penguasa harus selaras dan itu termanifestasikan dalam hukum.





Share:

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Blog GambarDua | Powered by Blogger Design by ronangelo