MORALITAS HUKUM SEBAGAI PEMANDU KEADABAN | FILSAFAT HUKUM | Blog GambarDua
Assalammu’alaikum wr.rb kali ini saya akan membagikan Materi Moralitas Hukum Sebagai Pemandu Keadaban Pada Mata Kuliah Filsafat Hukum.
MORALITAS HUKUM SEBAGAI PEMANDU
KEADABAN
Ide
gagasan tentang hukum sebagai pemandu keadaban, bukanlah hal baru. Gagasan itu
telah muncul sejak orang berpikir tentang logos yang diyakini sebagai jalan
terang menujur nomor keteraturan, yang dibahas dalam moralitas hukum sebagai
pemandu keadaban ialah kehendak hidup dalam suasana beradab Seluruh gagasan
kontrak social baik yang bertolak maupun pandangan anarkisme .
Tidak kebetulan, jika awal-awal
pemikiran hukum, baik kehendak paling keras adalah mendidik manusia agar hidup
dengan baik dan menjadi perilaku yang baik.Bagii mereka yang meyakini manusia
agar hidup baik itu.Sedangkan bagi kubu anarkisme, hukum diproyeksi mengoreksi
sebagai memandu ke jalan terangm jalan yang benar dan jalan yang baik. Dari
sini muncul gagasan tentang fungsi kebudayaan dari hukum, yakni mengoreksi dan
memfasilitasi
1. 1. Mission Sacree
Tidak ada hidup bersama yang beradab dan
beradil—yang dapat berkembang dan bertahan tanpa hukum. Hukum menjadi fondasi
sekaligus perekat, yang mencegah masyarakat dari disintegrasi, yaitu hancur dan
anarkisme
Debat antara pengikut Hobbes dan
Locke mengenai bagaimana sebaiknya masyarakat dikelola,bisa membantu luka
memahami misi hukum yang ada dalam masyarakat manusia. Baik kubu Hobbes maupun
kubu Locke, sependapat bahwa manusia itu bebas, namun tidak bisa bertahan hidup
hanya dengan kebebasannya itu.Masalahnya, sumber-sumber daya yang menunjang
manusia itu sendiri terbatas.apabila manusia itu dibiarkan bebas tanpa batas
maka sumber-sumber kehidupan yang terbatas itu, menurut locke hanya akan
dinikmati oleh orang-orang yang kuat; atau menurut Hobbes akan menghantar manusia
pada situasi war of against all, semua perang melawan semua.
Oleh karena itu mereka sependapat
bahwa, kebeasan itu perlu diatur dan dibatasi.Dibatasi justru dengan maksud
agar kehidupan itu sendiri dirawat dan dibagi.Namun dalam merawat dan membagi kehidupan
itulah, kedua kubu bersimpang dan bersilang pendapat.
Locke berangkat dari keyakinan
bahwa manusia itu mahkluk rasional.Berdasarkan akal budi itu, manusia mengatur
kehidupan bersama antar mereka dengan membuat kontrak/perjanjian social.Untu
merawat dan membagi kehidupan bersama itu, maka manusia membentuk Negara dan
hukum.Dalam kehidupan bermasyarakat itu, manusia secara bebas, rela, dan sadar
menyerahkan sebagian dari kebebasannya kepada negra yang dibentuk
itu.Berdasrkan kontrak Negara diberi wewenang tertentu untuk mengatur kebebasan
individu manusia.
Bagi locke, wewenang tertentu
itu, disatu pihakn harus cukup besar sehingga pengaturan dapat dilaksanakan
secara efektif. Namun, dipihak lain wewenang itu sendiri harus tidak mutlak,
dan sewaktu-waktu dapat dirubah melalui kontrak baru tujuannya, menurut Locke
adalah untuk menjamin dan melindungi kebebasan individual yang merupakan inti
dari kehidupan manusia sebagai manusia, dati teori itulah, lahir apa yang
disebut “negara/masyarakat demokrasi, dimana Negara mempunyai fungsi untuk
melayani aspirasi serta kepentingan masyarakat, dan pada saat yang sama,
masyarakat berfungsi menjamin serta melindungi kebebasan individual
anggota-anggotanya. Alat utama yang dipakai untuk melindungi kebebasan tersebut,
adalah hukum.
Hobbes mempunyai pandangan yang
berbeda dengan locke mengenai manusia. Menurut Hobbes, manusia mempunyai naluri
dan dikendalikan oleh naluri homo homini lupus. Oleh karena itu, kebebasan
individual adalah sesuatu yang deskrutif, sehingga mau tidak mau harus
dibatasi, membatasi kebebasan individual manusia, yang apabila dibiarkan akan
menghancurkan seluruh kehidupan manusia itu sendiri.
Jadi maka dari itu dibutuhkan
kekuasaan yang cukup besar yang mampu memaksa tiap individu menyerahkan kebebasannya
demi hidup bersama yang damai.Kekuasaan yang besar itu, harus dipegang Negara,
karena negaralah lembaga manusia satu-satunya yang mempunyai otoritas untuk
memaksa.
Jadi dalam dua pandangan
tersebut, tersirat dua pendekatan yang amat berbeda dengan fungsi hukum/Negara
dalam merawat dan membagi kehidupan. Bagi Locke, hukum diperlukan untuk
melindungi kebebasan manusia untu meraih kesejahteraan. Sengangkan bagi Hobbes,
hukum yang sama diperlukan untuk menengkang naluri homo homini lupus sehingga
tercipta hidup bersama yag tertub, aman dan damai. Model locke melihat fungsi
yang terpenting dari hukum dan Negara, adalah untuk kesejahteraan, sedangkan
model Hobbes melihat fungsi yang terpenting dalam hukum dan Negara, adalah
untuk ketertiban.
Point dari model locke an Hobbes,
adalah bahwa kebutuhan terhadap hukum, bersumber dari kebutuhan akan system
hidup bersama mesti ditata secara beradab dan adil. Itulah moralitas hukum
sebagai pemandu keadaban.Apabila kehidupann bersama tidak ditata secara adil,
maka seperti dikatakan Locke, hanya “orang-orang kuat” yang bisa hidup Berjaya.
Atau bahkan seperti dikatakan Hobbesm hanya akan menghantar menusia terlibat
dalam perang total semua melawan semua perang.
Tanpa kita sadari, banyak
ketidakadilan terjadi dalam masyarakat, karena hukum membiarkan ketimpangan
structural atau berbagai kekuatan social diberbagai bidang. Kalau seorang
pelaku kejahatan dicurigai akan melarikan diri, maka aparat dengan mudah
mengenakan penaanan kepada yang bersangkutan. Sebalikanya, kalau kerugian
(materil dan imateril) yang dialami seorang warga Negara akibat kesesatan
peradilan (yang disengata maupun yang tidak disengaja), maka si korban harus
menempuh prosedur khusus untuk memperlehnya, dan jumlahnya pun dibatasi
sedemikian minimalnya.Dominasi atau kekerasan strukural telah melembagakan
ketimpangan dalam pembagian hak dank arena itu melangar asas keadilan.Para
pelanggan Listrik selalu dikenakan sanksi apabila jika terlambar membayar
tagihan listrik ataupun lalai membayar. Sebaliknya, kalau listrik padam dan
banyak pekerjaan terlantar serta alat-alat elektrik menjadi rusak, maka
pelanggan sangat sulit meminta ganti rugi dengan cara yang sederhana.
Dominasi structural tersebut
diatas merupakan ketidakadilan structural, karena truktur yang sudah membuat
pihak yang satu lebih kuat, lebih unggul dan lebih enak (tanpa yang
bersangkutan harus bersusah-susah payah untuk itu) , sementara pihak lain
berada dalam kedudukan lebih lemah, lebih terbelakang, dan lebih berat
(sekalipun yang berusaha berusaha dan mati-matian untuk memperbaiki keadaanya)
. Pihak yang terakhir ini dipaksa oleh keadaan untuk menerima kodisinya yang
lebih tidak menguntungkan . Ada suatu selisih
kekuasaan (power diffrental) yang menyebabkan pihak yang lebih lemah
harus terus menerus menerima paksaan dari pihak yang lebih kuat, tanpa melawan
atau melakukan negosiasi untuk perbaikan keadaan.
Hidup bersama yang aman, yang
damai, yang tertib yang adil, dan yang sejahtera, hanya mungkin terwujud secara
nyata jika “penataan keadilan” dilakukan secara baik. Tugas menata hidup yang
beradab dan berkeadilan itulah yang dimaksud dalam Mission Sacree
Dapat dikatakan “Hukum Sebagai
Hukum” , hanya apabila peraturan hukum berisi penataan keadilan yang dirumuskan
secara tegas dan pasti, sehingga bermanfaat secara nyata.
Tanpa Idealisme, maka hukum mudah
berbelok dan dibelokkan jadi alat kejahatan, Tanpa panduan idealism, hukum
dapat diperalat untuk maksud dan tujuan-tujuan jahat. Marx, ketika mencap hukum
sebagai an evil thing, justru karena kehampaan idealism dan memilih jadi hamba
capital.Pengadilan menjadi mimbar penindasan (yang kuat mengadili yang lemah)
justru karena hukum dijalankan tanpa idealism.
Idealisme adalah visi yang
bermakna, ia memberi titik tolak dan arah mengapa, apa, untuk apa dan bagaiaman
hukum hukum sampai bersifat seharusnya bertugas. Dengan begitu, hukum bukanlah
sekedar kumpulan norma yag bebas arah tanpa arah yang tegas. Sebaliknya, ia
merupakan tatanan yang dikemas sedemikian rupadalam spirit tertentu. Idealisme itulah
yang memasok system hukum motivasi, mendukungnya dengan cita-cita,
ideal-ideal, nilai-nilai, sebaliknya.
2. 2. Misi Keadaban Dalam Beberapa
Teori
Trio filsuf Athena, Socrates,
Plato, dan Aristoteles, berbicara tentang keutamaan, yang menunjuk pada
keluhuran jiwa, hidup terhormat, tidak menyakiti orang lain cinta kebenaran,
respek pada keadilan, berlaku jujur, utamakan kepentingan umum, dan aspek pada
hukum
Menurut Socrates tiap peraturan
yang dibuat oleh Negara harus obyektif dan berisi kebijakan.Hukum tidak boleh
diarahkan untuk melanggekan kepentingan-kepentingan hedonis individual dan
penguasa, sebaliknya hukum harus mempromosi keutamaan. Hanya dengan begitu,
maka eudaimonia bisa tercipta
Tugas Negara dan individu adalah
mematuhi dan melaksanakan hukum yang telah ditetapkan itu, Individu maupun
Negara, awajib setiap pada hukum, Sebab hukum berisi summon bunum tersebut,
merupakan represntasi kepentingan umum, maka hukum yang demiikian itu berfungsi
sebagai tiang Negara, hidup matinya Negara yang berate pula hidup matinya
individu ditentukan oleh sejauh mana tiang itu dijaga dan dirawat, Itulah bagi
Socrates “Ketaatan pada Hukum” Merupakan harga mati yang wajib dilakukan oleh
Negara dan individu.
Menurut Socrates, Hakikat Negara
bukanlah organisasi yang dibuat kepentingan diri sendiri, melainkan merupakan
susunan obyektif untuk mencapai kebijakan dan keadilan.Negara bertugas membuat
dan melaksanakan hukum-hukum yang obyektif yang mengandung keadilan bagi umum,
bukan untuk melayani kepentingan manusia.
Sedangkan Individu manusia,
menurut Socrates adalah mahkluk berbudi yang mengerti tentang yang baik dan
yang buruk.Tidak hanya itu manusia juga merupakan warga Negara/masyarakat yang
harus bertanggung jawab merperthankan kelangsungan eksitensi Negara/masyarakat
itu.
Dalam konteks tanggung jawab
itulah, baik Negara maupun individu harus memiliki spirit kebijakan.Negara
harus mempunyai arête sebagai Negara.Demikian juga, manusia harus memiliki
arête sebagai manusia. Hanya dengan begitu, maka komitmen bisa tercipta untuk merawat
dan mempertahankan tiang Negara
Menurut Socrates Mengetahui
kebenaran wajib melaksanakan kebenaran itu, Kejahatan menurut Socrates, adalah
sebuah ketidaktahuan tentang kebenaran, sekaligus buah dari kegagalan tida
menjalankan kebenaran tersebut. Pemikiran Socrates tersebut menjadi bawah
refleksi bagi kita semua, kondisi Indonesia yang kian mengarah pada Negara
gagal, untuk sebagian oleh karena hukum sebagai tiang Negara tidak lagi kokoh
karena dirongong setiap saat oleh kita,baik sebagai elit maupun rakyat biasa.
Elit dan rakyat negeri ini sangat miskin akan komitmen karena tidak memiliki
spirit kebajikan (arête) kita perlu belajar pada Socrates bahwa tugas merawat dan
menjaga hukum sebagai tiang negara.
Hukum sebagai hanya polis
merupaka wahana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai
moral yang rasional.Hanya dalam polis yang merupakan instusi logos (teratur,
rasional, bermoral, dan mencerahkan) seorang individu dimungkinkan menjadi
mahkluk moral yang rasional.Dengan meraih keadaan ini manusia dapat menikmati
eudaimonia yang merupakan ultimum manusia.
0 komentar:
Post a Comment