MAKALAH PENEGAKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN TERHADAP KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN DI BENOA | HUKUM LINGKUNGAN | Blog GambarDua
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
taufik serta Hidayahnya, sehingga saya pribadi dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul tentang “Tindak Pidana Lingkungan” ini dengan baik, sebagai syarat
untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Hukum Lingkungan.
Makalah
ini disusun dari berbagai macam referensi dan bantuan dari berbagai pihak, dan
kami juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak mengalami
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran dari semua
pembaca agar terciptanya makalah ini lebih baik lagi.
Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk, mauapun pedoman bagi pembaca dalam bidang Hukum
Lingkungan
(Kendari,
3 Juni 2019)
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................................... i
Kata Pengantar.............................................................................................................................. ii
Daftar Isi....................................................................................................................................... iii
Bab I
Pendahuluan........................................................................................................................ 1
A.
Latar Belakang................................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
Bab II
Pembahasan....................................................................................................................... 3
1.
Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Lingkungan................................................ 3
2.
Penyelesaian Hukum Pidana Lingkungan Berdasarkan UU
No 32 Tahun 2009 Apabila Diterapkan Terhadap Kasus PT Indonesia Power.............................................................................................. 5
Bab III
Penutup............................................................................................................................ 11
A.
Kesimpulan...................................................................................................................... 11
Daftar
Pustaka............................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat
dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
materinya sesuai dengan wawasan nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumber
daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila.[1]
Kaidah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup
Indonesia terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4
yang pada pokoknya mewajibkan pemerintah untuk mendayagunakan sumber daya alam
yang ada untuk sebanyak-banyak kesejahteraan rakyat. Pemikiran tentang
kewajiban negara ini secara konstitusional tersebut lebih dijabarkan lagi dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu prinsip negara, bumi dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya serta menjadi hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara untuk digunakan untuk kehidupan orang banyak atau dengan kata
lain negara bertindak sebagai penyelenggara kepentingan umum (Bestuurzorg)[2].
Masalah lingkungan hidup secara formil baru menjadi perhatian dunia setelah
terselenggaranya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan
hidup, yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai 16 Juni 1972 di Stockholm
Swedia, terkenal dengan United Nations Conference on Human Environment. Konferensi
berhasil melahirkan kesepakatan internasional dalam menangani masalah
lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum lingkungan hidup baik pada tingkat
nasional, regional, maupun internasional.[3]
Perusakan habitat sumber daya hayati melalui berbagai cara yang tidak
wajar, bukan saja berakibat buruk pada sumber daya hayatinya (hutan mangrove,
terumbu karang, ikan dan sebagainya) yang berakibat pada pemusnahan plasma
nutfah, juga telah membawa akibat pada penurunan pendapatan masyarakatnya. Berbagai
kegiatan pembangunan yang berlangsung di kawasan pantai dan pesisir seperti
pembangunan pelabuhan, industri, perumahan, pariwisata, pertambangan dan
perikanan memunculkan berbagai isu dan masalah sebagai hasil dari penggunaan
dan pemanfaatannya serta konflik kepentingan antara berbagai pihak. Sebagai
contoh kasus pencemaran lingkungan oleh PT Indonesia Power akibat bocornya
pipa minyak. Kebocoran ini berdampak pada pencemaran lingkungan parah, karena
sudah sampai mencemari air laut dan tanaman bakau di kawasan Pelabuhan Benoa,
Kota Denpasar. Yayasan Wisnu Bali meminta PT Indonesia Power serius dan
bertanggung jawab penuh terhadap pencemaran lingkungan tersebut. Karena
pencemaran lingkungan itu bentuk dari pelanggaran undang-undang lingkungan hidup.
Pihak Indonesia Power tampaknya hanya seremonial dan sekedar saja membersihkan
sisa oli dari kebocoran pipanya. Buktinya minyak dan oli masih tampak
mengambang di sekitar tanaman bakau.[4]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup :
“Sengketa
lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul
dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”[5]
Dalam hal ini hukum pidana menjadi salah satu instrumen bagi penyelesaian
sengketa lingkungan hidup serta dijadikan sebagai asas dalam lingkungan hidup.
B. Perumusan
Masalah
1. Apa faktor
penyebab terjadinya tindak pidana lingkungan?
2. Bagaimana
penyelesaian hukum pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup apabila diterapkan
terhadap kasus PT Indonesia Power?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Faktor Penyebab
Terjadinya Tindak Pidana Lingkungan
Jika kita berbicara tindak pidana lingkungan hidup maka tidak akan terlepas
pada asas ultimum remedium yang dianut dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, asas
ini tidak menjelaskan mengapa legislator memperlakukan asas ultimum
remedium hanya terhadap baku mutu air limbah, baku mutu emisi dan baku
mutu gangguan saja. Padahal karakteristik delik formil baru merupakan
pelanggaran administrasi, yaitu berupa pelanggaran syarat atau izin yang
ditetapkan.[6]
Kecenderungan memfungsikan
hukum pidana dalam masalah lingkungan sebagai primum remedium sangat menonjol
dibandingkan dengan mendahulukan upaya hukum lain, padahal delik formil lebih
dominan dibandingkan dengan delik materil. UUPPLH lebih menonjolkan pidana
penjara bagi pelanggar hukum administrasi yang justru belum melakukan
pemcemaran dan/atau perusakan lingkungan.[7]
Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi penegak hukum telah membuat
sebuah pedoman bagi jajaran kejaksaan dalam menangani kasus lingkungan khusus
menyangkut asas subsidaritas dihubungkan dengan delik formil. Pedoman tersebut
termuat dalam surat nomor: B-60/E/Ejp/01/2002 tertanggal 29 Januari 2002,
perihal pedoman teknis yustitial penanganan perkara tindak pidana lingkungan
hidup yang berkaitan dengan asas subsidaritas.[8]
Surat ini ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia.
Pedoman ini memberikan acuan kerja sebelum menerapkan hukum pidana, ini
mengandung makna bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak
pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan
hukum di bawah ini:
a. Aparat yang
berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan
menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan
pelanggaran yang terjadi; atau
b. Antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadinya pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa
melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah atau
perdamaian, negosiasi, atau mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan
buntu; dan/atau
c. Litigasi
melalui pengadilan, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan
dapat dimulai/instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat
digunakan.[9]
Ketiga syarat asas subsidaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat
dikesampingkan apabila dipenuhi tiga syarat atau kondisi tersebut di bawah ini
:
a. Tingkat
kesalahan pelaku relatif berat;
b. Akibat
perbuatannya relatif besar;
d. Pada surat
tersebut kejaksaan menetapkan tindakan hukum tersebut bersifat alternatif,
artinya tidak semua harus dijalankan cukup salah satu di antaranya.
e. Tidak
dijelaskan tahapan-tahapan tersebut diperlakukan untuk delik formil atau untuk
delik materiil saja. Namun dari surat tersebut dapat ditafsirkan bahwa tahapan
tersebut diperuntuhkan untuk delik formil, karena terhadap tingkat kesalahan
pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif besar, dan perbuatan pelaku
menimbulkan keresahan masyarakat prosedur tersebut dapat diabaikan.[11]
Tindak pidana lingkungan hidup dapat dilakukan secara terus menerus jika
dilihat bahwa pidana dijadikan sebagai upaya terakhir, karena yang akan terjadi
adalah adanya upaya hukum lain yang hasilnya malah tidak sama sekali menghukum
pembuat kerusakan. Kejahatan lingkungan dalam bentuk pencemaran dan
kerusakan lingkungan, yang terjadi di Indonesia, kecenderungannya makin
meningkat. Hal itu dapat kita ketahui dari laporan, pemberitaan media cetak,
media elektronik maupun dari penglihatan langsung di lapangan. Penyelesaiannya
apakah melalui tindakan preventif maupun represif, tidak bisa dipisahkan dari
instrumen penegakan hukum, apakah melalui : Penerapan Sanksi Administratif
berupa Teguran Tertulis, Paksaan Pemerintah; maupun melalui jalur Penyelesaian
Sengketa / Perdata ataupun penegakan hukum berupa Penegakan Hukum Pidana,
berbicara mengenai penerapan hukum administratif lingkungan, tidak bisa
dilepaskan dari peran Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH).
Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena :
a. Dinamika
penduduk
b. Pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana
c. Kurang terkendalinya pemanfaatan akan
ilmu pengetahuan dan teknologi maju
d. Dampak negatif
yang sering timbul dan kemajuan ekonomi yang seharusnya positif
e. Benturan tata
ruang.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya AMDAL (analisis dampak
lingkungan), AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan. Hal –hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek
fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan
masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan
bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan,
di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat
diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari
usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di
antaranya digunakan kriteria mengenai :
a. besarnya jumlah
manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah
penyebaran dampak;
c. intensitas dan
lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya
komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif
dampak;
f. berbalik (reversible)
atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
2. Penyelesaian
Hukum Pidana Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Apabila Diterapkan Terhadap Kasus
PT Indonesia Power
Penyusun
Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berusaha
untuk membuat definisi tentang lingkungan sebagai berikut:
“lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”[12]
Istilah lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan hidup manusia sebagai terjemahan
dari bahasa Inggris environment and human environment. Sering
kali digunakan secara silih berganti dalam pengertian sama. Sekalipun arti
lingkungan dan lingkungan hidup manusia dapat diberi batasan yang berbeda-beda
berdasarkan persepsi setiap penulis.[13]
“lingkungan
atau lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada
dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita” [14]
Pengertian di atas bahwa lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda,
daya, dan kehidupan termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang
terdapat dalam suatu ruang, yang mempengaruhi kelangsungan dan
kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.[15]
Dalam pengkajian terhadap ketentuan pemidanaan tindak kejahatan lingkungan,
terlebih dahulu perlu dipahami apakah yang dimaksud dengan pidana dan
pemidanaan tersebut, kemudian dilanjutkan makna filosofis yang terkandung dalam
ketentuan-ketentuan pemidanaan yang berlaku (ius constitutum).
Menurut Soedarto yang dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup khususnya dengan Pasal 66 sangat maju dalam memberikan
perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat
penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis
lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas
dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Di dalam sistem hukum Amerika
Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti
SLAPP (strategic legal action against public participation), yaitu
gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak
lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi
atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah
lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materiil
terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di
masa datang.
Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk
bersikap kritis dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau
telah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha
sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup yang
melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey). Para hakim di
Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan
berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus
melewati Polri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengubah ketentuan yang selama ini
memberikan kewenangan kepada Polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat
menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana dinyatakan
dalam Pasa l8 ayat (2) KUHAP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
menimbulkan perubahan.
Perubahan ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan:
”hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil
disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan demikian, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas
hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi.
Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa
depan apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum
lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
a. Melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. Melakukan
pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. Meminta
keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
d. Melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. Melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan,
catatan dan dokumen lain;
f. Melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
g. Meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h. Menghentikan
penyidikan;
i. Memasuki tempat
tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j. Melakukan
penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga
merupakan tempat dilakukannya tindak pidana;
Hal ini jika diaplikasikan terhadap kasus yang terjadi pada PT
Indonesia Power yang sampai mengakibatkan bocornya pipa minyak dan
kebocoran ini berdampak pada pencemaran lingkungan parah, karena sudah sampai
mencemari air laut dan tanaman bakau di kawasan Pelabuhan Benoa, Kota Denpasar
dan Indonesia Power tidak serius terhadap menanggulangi pencemaran
lingkungan tersebut, karena pencemaran lingkungan itu bentuk dari
pelanggaran undang-undang lingkungan hidup. Pihak Indonesia Power tampaknya
hanya seremonial dan sekedar saja membersihkan sisa oli dari kebocoran
pipanya sebagaimana dituduhkan oleh Yayasan Wisnu Bali maka berdasarkan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memberikan perlindungan hukum kepada Yayasan Wisnu Bali yang
telah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana
dan perdata atas pencemaran nama baik dari PT Indonesia Power. Sehingga Yayasan
Wisnu Bali dapat mengadukannya kepada PPNS, karena PPNS yang mempunyai
kewenangan atas hal tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 6 ayat (1) yang
menjadi dasar bagi keberadaan PPNS.
Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab
jika sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh
badan usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat (1) menyebutkan ”tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau (b) orang yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep
pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
menyatakan:
“Terhadap
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.
Berdasarkan Pasal 116 dan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat diketahui bahwa ada tiga
pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak
yaitu:
a. badan usaha itu
sendiri;
b. orang yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
c. pengurus.
Mengingat Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan “sanksi dikenakan terhadap
badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di
luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas dasar
kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b. Perbedaannya adalah rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b memang
mengharuskan penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan bahwa penguruslah
yang telah bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan kerja keras penyidik
dan penuntut umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana
lingkungan.
Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan
Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul
pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih memudahkan dalam upaya penuntutan
karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara spesifik dalam
sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperkuat
interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana lingkungan,
tuntutan dan hukuman ”dikenakan terhadap pimpinan badan usaha atas dasar
pimpinan perusahaan yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima
tindakan tersebut”. Pengertian “menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui,
membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku
fisik, atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana
tersebut.” Dengan demikian, pengurus perusahaan yang mengetahui dan membiarkan
karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengolahan dianggap
melakukan tindak pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus
bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya
terakhir yang lazim disebut dengan istilah ultimum remedium untuk
menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam
Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir
setelah penegakan hukum administrasi negara tidak efektif. Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, ultimum remedium hanya berlaku untuk satu Pasal saja
yaitu Pasal 100 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang
tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika sanksi
administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini
berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah
secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha
yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam
Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1997 tidak disebut secara tegas pimpinan
atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.
Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1997 hanya menggunakan istilah “yang
memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan
dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap mengadopsi
pertanggungjawaban badan usaha (corporate liability). Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa
yang harus bertanggungjawab.
Jika ditilik rumusan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pertanggungjawaban badan usaha
timbul dalam salah satu kondisi berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) oleh
orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat
bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia,
yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja,
misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan
kerja.
Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan sebuah
terobosan atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus
perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan,
pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala
memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mirip
dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon. Jadi
PT Indonesia Power dapat dikenakan sanksi administratif dan apabila sanksi
administratif tersebut tidak efektif maka barulah sanksi Pidana dijatuhkan
mengingat sanksi pidana adalah ultimum remedium.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga memuat delik materiil yang diberlakukan kepada pejabat
pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. Pemberlakuan delik
materiil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju
dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh
melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materiil tersebut dirumuskan
dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena :
a. Dinamika
penduduk;
b. Pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana;
c. Kurang
terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju;
d. Dampak negatif
yang sering timbul dan kemajuan ekonomi yang seharusnya positif;
e. Benturan tata
ruang.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya AMDAL (analisis dampak
lingkungan), AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perlindungan hukum kepada Yayasan Wisnu
Bali yang telah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan
tuntutan pidana dan perdata atas pencemaran nama baik dari PT Indonesia Power.
Sehingga Yayasan Wisnu Bali dapat mengadukannya kepada PPNS, karena PPNS yang
mempunyai kewenangan atas hal tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 6 ayat
(1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS. Menurut ketentuan Pasal 116 ayat
(1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta
merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih
memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran
para pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan dan PT
Indonesia Power dapat dikenakan sanksi administratif dan apabila sanksi
administratif tersebut tidak efektif maka barulah sanksi Pidana dijatuhkan
mengingat sanksi pidana adalah ultimum remedium.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarso,
Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa.
Rineka Cipta; Jakarta. 2005.
0 komentar:
Post a Comment